Ringkasan Buku History of Java (Bab II) Thomas Raffles



”Secara tingkah laku dan kehidupan sehari-hari, Orang-orang Jawa sangat sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk” (Sir Thomas Stamford Raffles)
Berdasarkan data sensus pemerintah Inggris yang dikeluarkan pada tahun 1815, diketahui total populasi penduduk Pulau Jawa dan Madura sebesar 4.615.270 jiwa dimana jumlah laki-laki hampir seimbang dengan jumlah perempuannya. Penduduk yang tinggal di Provinsi Pribumi dan Madura memiliki perbandingan kurang lebih 1 banding 4 dibandingkan penduduk yang tinggal di Provinsi Eropa. Menurut Dr. Francis Buchanan, orang Jawa digambarkan sebagai orang pendek, kekar, tegap, berotot dan sangat berbeda dengan bangsa Eropa. Wajahnya persegi dengan dahi dan dagu tajam, dimana tulang pipinya sangat lebar, alisnya tipis, matanya kecil dan letaknya masuk ke dalam tulang wajah. Hidungnya kecil, tetapi tidak seperti ras Negroid. Bentuk mulutnya biasa, rambutnya kasar, lurus dan hitam. Bahkan mereka yang tinggal di tempat paling panas tidak segelap ras Negroid dan yang tinggal di tempat terdingin pun tidak berkulit seputih orang Eropa. Digambarkan pula bahwa kaki mereka panjang dengan telapak kaki dan pergelangan kecil. Kulit orang Jawa lebih dikategorikan kuning dibandingkan tembaga atau hitam dan dianggap yang terbagus adalah warna kuning emas, kecuali beberapa yang tinggal di daerah pegunungan yang lebih menyukai warna tembaga. Orang Jawa yang tinggal di distrik Sunda (atau Orang Sunda) merupakan penduduk gunung dengan ciri lebih lincah dibandingan Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Sedangkan Orang Madura menampakkan ciri lebih perkasa dan bebas serta berjalan lebih tegap. Secara tingkah laku dan kehidupan sehari-hari, Orang-orang Jawa sangat sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk. Mereka mempunyai rasa kesopanan dan tidak bertindak atau berkata kasar. Meski terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak suka mengusik urusan orang lain. Mereka berjalan dengan lambat dan tidak tergesa-gesa, namun dapat menjadi tangkas apabila diperlukan. Digambarkan juga mempunyai sifat lembut dan pendiam dan tidak gemar berpetualang serta tidak menyukai perdagangan internasional. Tidak gampang marah atau berkelahi dan mereka jarang mendapatkan masalah. Kebiasaan balas dendam pun tidak begitu tepat diterapkan pada bangsa Jawa. Karena alamnya subur, pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah bertani yang memberikan dampak yang sangat baik untuk kesehatan hal ini mendukung perkawinan dini (nikah muda), memperpanjang usia hidup dan banyaknya anak. Banyak penduduk yang mencapai usia 70-80 tahun, bahkan ada yang mencapai 100 tahun meski rata-rata usia harapan hidupnya adalah 40-50 tahun di tempat yang beriklim bagus. Kehidupan yang sehat dan panjang usia memudahkan mereka membentuk jaringan keluarga. Laki-laki dan perempuan sangat cepat menginjak usia dewasa, yang mempercepat pula mereka untuk menikah muda, laki-laki di umur 16 tahun dan perempuan di umur 13-14 tahun. Seperti yang dikatakan Montesquieu, ”Masa kanak-kanak dan perkawinan berlangsung bersamaan”, nyaris tidak ada hambatan bagi pasangan yang menikah muda. Mata pencaharian mudah didapatkan dan mereka tidak membutuhkan kemewahan. Anak-anak hanya menjadi beban orang tua di waktu yang singkat, bahkan mereka menjadi tambahan tenaga kerja dan sumber kekayaan. Untuk petani yang mengolah sawahnya sendiri, anak-anak bahkan dianggap sebagai investasi yang sangat berharga meskipun selama masa kanak-kanak, mereka dianggap tidak menghasilkan apapun. Pendidikan untuk anak-anak sangat sedikit atau bahkan tidak ada kesempatan sama sekali dan tidak banyak pakaian yang dimiliki. Mengenai timpat tinggal, pondok mereka tidak membutuhkan banyak ruang dan mereka tidak butuh tempat tidur. Pondok para petani dinamakan ’Umah Limasan’. Pondok tersebut dihargai dengan uang seharga 2-4 gulden atau 5-10 shilling uang Inggris apabila kondisinya masih baru. Dindingnya terbuat dari bambu yang dijalin menjadi satu, sekat juga dibuat dari bahan yang sama, atapnya terbuat dari rumput yang panjang atau dari sejenis bambu sirap. Di dalam rumah terdapat dua ruangan, yaitu satu untuk orang tua dan satu untuk anak-anak serta tidak terdapat jendela di dalamnya. Cahaya hanya berasal dari pintu, sehingga pekerjaan rumah tangga biasanya dikerjakan di luar rumah. Para wanita biasa menjahit atau memintal di beranda rumah, dimana mereka terhalangi dari sinar matahari oleh bagian atap rumah yang menjuntai ke depan. Di beberapa daerah pegunungan, dimana sering terjadi hujan lebat, penduduk memperkuat pondok mereka dengan memasang jalinan bambu antara atap dan tiang-tiang rumah. Secara keseluruhan, meski tinggal di rumah yang sederhana dan kecil namun menyediakan kenyamanan bagi penghuninya. ’Cacah’ atau keluarga, biasanya mempunyai anggota lebih sedikit dari keluarga Eropa karena anak-anak meninggalkan rumah orang tua pada usia muda untuk membentuk keluarga mereka sendiri. Jumlah anggota keluarga biasanya tidak lebih dari 4-5 orang dan karena tenaga perempuan dihargai sama dengan tenaga laki-laki, maka para orang tua membesarkan anak perempuan mereka sama dengan anak laki-laki. Mereka dibesarkan dengan perhatian yang sama dan dengan kebanggaaan yang sama pula. Tidak ada anggapan dalam masyarakat bahwa seorang anak adalah beban, atau kelahiran seorang anak dianggap kemalangan. Oleh karenanya, masalah pernikahan dianggap hal yang sangat umum, jarang ditemui seorang laki-laki lebih dari 20 tahun masih melajang dan jarang pula ditemukan kasus perselingkuhan atau pelacuran, kecuali di kota-kota besar. Para keluarga yang tinggal di dalam pondok-pondok atau rumah tinggal biasanya berkumpul dalam suatu komunitas sendiri yang disebut ’duku’ di distrik timur atau ’chantilan’ di distrik barat atau desa menurut istilah administrasi wilayah. Biasanya penduduk dalam suatu desa terdiri dari 50 sampai 200 jiwa. Pedesaaan besar atau kecil, dipagari bambu dan tanaman menjalar lain serta tiap rumah tinggal dikelilingi oleh taman atai kebun pribadi. Di Surakarta, ibukota provinsi milik pribumi, meski penduduknya lebih dari 100 ribu jiwa, tetapi bisa disebut sebagai kumpulan dari berbagai desa, tidak seperti kota-kota di negara Eropa. Perabotan yang berada di rumah ’wong cilik’ biasanya terlihat sangat sederhana, terdiri dari beberapa barang saja. Tempat tidurnya, seperti di daerah Sumatera, berupa alas tikar dengan beberapa bantal dan ditutupi semacam kelambu kain. Mereka tidak menggunakan meja atau kursi, makanan ditaruh di atas nampan, dengan beberapa peralatan makan dari keramik. Mereka duduk bersila, dan seperti para penganut ajaran Islam, mereka menggunakan tangan kanan untuk makan. Sendok hanya digunakan untuk makanan berair dan hampir tidak ada garpu atau pisau. Dari sisi pakaian, penduduk asli Jawa berpakaian lebih baik dibandingkan penduduk India Barat. Pakaian yang paling umum dipakai semua kalangan di pulau ini adalah kain sarung, yang digambarkan Marsden, ”Penampilannya tidak seperti kain pendek Skotlandia, berupa sehelai kain bercorak, dengan panjang 6-8 kaki dan lebarnya 3-4 kaki, dijahit di kedua sisinya, dan bentuknya seperti karung tanpa alas yang dijahit”. Di kalangan orang Melayu, sarung biasanya dililitkan di leher sebagai syal, atau diikat di pinggang dan menjuntai sampai mata kaki, serta menutupi kedua kaki seperti gaun. Pola yang banyak digunakan orang Bugis dan melayu berupa kota-kotak (tartan), tetapi orang Jawa mempunyai pola lebih beragam. Kalangan petani kebanyakan menggunakan motif tartan, tetapi kalangan bangsawan lebih menyukai batik Jawa atau kain yang dilukis. Pada acara resmi mereka tidak menggunakan sarung atau jarit (kain yang ujungnya tidak disatukan), tetapi menggunakan pakaian yang disebut ’dodot’, yang terbuat dari sutera atau katun dan ukurannya lebih besar. Laki-laki dari kalangan bawah biasa menggunakan celana kain selutut, dengan jarit atau kain yang melilit pinggang dan menjuntai melewati lutut, seperti gaun pendek. Kaim ini selalu diikat di pinggang dengan menggunakan sabuk saat bekerja di sawah atau berpergian, tetapi biasanya dilepas saat bertemu dengan orang yang lebih kuasa.. Dan Umumnya orang Jawa memakai kemeja pendek sebatas siku yang disebut ’kalambi’. Para wanitanya juga menggunakan kain yang sama dan dililitkan hingga mata kaki namun cara mengikatnya berbeda dengan laki-laki. Pengikat kain dinamakan ’udat’, sedangkan kain yang dililitkan mengelilingi tubuh menutup dada sampai dekat lengan disebut ’kemban’. Mereka juga seringkali memakai gaun longgar sepanjang lutut yang biasanya berwarna biru dengan lengan berkancing di pergelangan tangan. Nilai pakaian laki-laki sekitar 12 shilling dan baju wanita senilai 15 shilling. Laki-laki dan wanita Jawa secara umum membiarkan rambutnya panjang alami dan tidak dipotong. Berbeda dengan orang Bugis dan Melayu, yang mempunyai potongan rambut pendek. Kaum laki-laki, kecuali dalam acara tertentu, biasanya melingkarkan rambut mereka di sekeliling kepala dan menjepitnya dengan sisir sirkam di depan. Namun di kalangan petinggi, merupakan suatu kehormatan untuk membiarkan rambutnya terurai di hadapan atasan mereka. Di distrik Sunda dan Cheribon, pada acara tertentu, para petinggi membiarkan jambul mereka dikeriting dan terurai di bahu. Ada beberapa jenis minyak wangi yang dipakan pria dan wanita, seperti ’lang’a chandana (minyak cendana)’, minyak kenangan, minyak garu, minyak gandapura dan minyak jeru serta melumuri tubuh dengan semacam ramuan yang disebut ’bore’ (bedak) yang terdiri dari bedak kuning, bedak hitam, bedak sari dan bedak klambak. Ada juga minyak kesturi yang disebut ’dedas’. Di rumah orang kaya biasanya dibakar kayu dupa atau kayu-kayu wangi lainnya. Dibandingkan daerah barat Asia, orang Jawa memiliki beberapa pantangan dalam hal makanan, mereka beragama Islam, karenannya tidak memakan daging babi dan meminum arak. Beberapa keluarga yang masih berpegang kepada kepercayaan Hindu tidak memakan daging lembu atau sapi. Makanan pokok mereka adalah sayur-sayuran dan nasi. Lauk pauk kesehariannya berupa ikan, unggas dan ayam. Ikan paling banyak dimakan, dan sisa yang tidak dimakan diasinkan atau dikeringkan sera dijual ke daerah pedalaman. Mereka tidak makan kura-kura atau hewan amfibi lain. Daging kerbau, kambing, rusa dan berbagai jenis unggas yang menjadi lauk-pauk banyak tersedia di pasar. Daging kuda juga banyak disukai namun kemudian penyembelihan kuda dilarang. Daging rusa yang dikeringkan dan diasapi telah dikenal luas di seluruh Kepulauan Malaya, yang disebut dendeng, dan banyak diminati di Pulau Jawa. Garam dapur diproduksi di seluruh distrik, tetapi karena diproduksi di daerah pantai, maka di daerah pedalaman harganya menjadi lebih mahal. Gula yang diproduksi tidak berasal dari gula tebu, melainkan dari pohon aren atau kelapa. Pembuatannya dengan merebus air pohon atau ’tari’, yang dihasilkan kelopak bunga muda yang sengaja ditoreh untuk keperluan ini. Beras yang telah ditumbuk kemudian dikukus, seringkali dimasak dengan sedikit air. Beras yang dikukus akan menjadi nasi putih yang harum dan terkadang dijual ke pasar atau di pinggir jalan. Jagung biasanya dibakar dengan gagangnya dan beberapa masakan dimasak dengan santan pedas yang disebut sebagai ’gulai melayu’. Selain makanan utama mereka mempunyai beberapa jenis kue dan kudapan yang terbuat dari ketan, yang terkadang rasanya tidak sesuai dengan selera Eropa. Orang Jawa suka mewarnai masakan mereka, diantaranya telur rebus yang diwarnai coklat atau kuning, dan bahkan dengan warna merah. Bumbu yang paling sering dipakai untuk memberi rasa pedas adalah lombok, yang apabila ditumbuk dengan garam dinamakan sambal. Rasanya bervariasi tergantung bahan lain yang digunakan, yang paling umum dipakai adalah trasi (blachang dalam bahasa Melayu). Apabila beberapa sayuran dimasak menjadi satu dan direbus, maka disebut ’jangan’ atau sayur hijau untuk lauk. Beberapa jenis sayuran merupakan menu utama di Jawa, diantaranya padamoro, pindang dan semur, yaitu masakan yang mirip kari di India. Telur asin juga salah satu lauk utama di Jawa. Telur bebek yang jumlahnya sangat banyak diawetkan dengan cara dilumuri garam dan abu, atau garam dan batu bata serta dibungkus dengan daun lebar lalu disimpan dalam bak kayu besar atau lubang dari tanah. Telur akan masak dalam waktu 10 hari, tetapi biasanya disimpan lebih lama dan bisa tahan berbulan-bulan karena telah dilumuri oleh garam. Di beberapa distrik, telur bebek ’muscovy’ biasa juga digunakan untuk telur asin ini. Dalam mempersiapkan makanan, orang Jawa sangat memperhatikan kebersihan seperti layaknya penduduk Asia lainnya. Dalam masalah selera makan, mereka berada diantara selera orang Hindu yang sangat bersih dan orang Cina yang memakan segala jenis makanan. Air putih merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi penduduk yang biasanya direbus dahulu dan diminum saat masih hangat. Beberapa menaruh kayu manis atau rempah-rempah ke dalam minumannya. Teh biasanya di tengah hari saat istirahat. Orang Jawa makan dua kali dalam sehari. Pertama disebut ’mangan awan’, yaitu makan utama pada waktu siang atau sebelum tengah hari dan kedua ’mangan wengie’ atau waktu makan malam, yaitu antara jam 7-8 malam. Mereka tidak mengenal sarapan seperti orang Eropa, tetapi bagi penduduk yang berpergian pada pagi hari biasanya menyempatkan diri minum secangkir kopi dan kue beras sebelum meninggalkan rumah. Makan pagi yang terkadang dilakukan penduduk dinamakan ’sarapan’. Diringkas dari : The History of Java (Bab II). Sir Thomas Stamford Raffles. Penerbit Narasi. 2008. Semoga Bermanfaat

Comments

Post a Comment

Popular Posts