Makalah Siyasah

BAB I
PEMBAHASAN

1.1. Kriteria seorang Imam; Tinjauan Sunni dan Syiah.
Bila penafsiran al-Quran seorang imam tidak terjaga dari kesalahan, maka ucapannya tidak dapat menjadi hujjah bagi umat dan fashlul khitab (penengah) pelbagai silang-pendapat dalam penafsiran. Demikian juga, penjelasan hukum-hukum agama dari pihak seorang imam yang tidak terjaga dari kesalahan, tidak akan dapat menyempurnakan hujjah atas umat dan mereka tidak dapat bersandar kepadanya ketika belum meyakini ternafikannya kemungkinan kesalahan dalam ucapan-ucapan imam dan menjadikannya sebagai penuntun praktek tugas-tugas agama. . Seorang imam yang tidak terjaga dari perbuatan dosa, sangat mungkin tergelincir dalam menghadapi penyimpangan dan penyelewengan, tidak melaksanakan kewajiban dengan motif memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi atau karena faktor-faktor lain. Di samping itu, seorang imam yang dirinya sendiri tergelincir ke dalam perbuatan dosa, tidak akan dapat menjadi penyeru umat kepada takwa dan amal saleh dan sangat mungkin sekali kehilangan nilai dan validitasnya, minimal dalam pandangan sebagian masyarakat.
Perbedaan fundamental Syiah dan Sunni dalam esensi dan kedudukan imamah menjadi penyebab munculnya berbagai macam perbedaan. Di mana sebagiannya tempak jelas dalam pembahasan imamah, yaitu pada pemaparan syarat-syarat dan kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang imam. Berikut ini kita akan lihat kriteria dan teraju yang digunakan kedua mazhab besar dalam Islam ini dalam memilih dan mengangkat seorang imam.
1.2. Kriteria-kriteria Imam dalam Perspektif Ahlusunnah (Sunni)
Ulama Ahlusunnah (sunni) dalam menjelaskan syarat-syarat ini tidak memiliki kesepakatan pandangan dan dalam ucapan-ucapan mereka tampak berbagai macam perbedaan yang mencolok. Sebagai contoh, Baqalani mengisyaratkan dengan tiga syarat seseorang dapat memangku jabatan imam ; Pertama, Bernasab Quraisy, kedua, ) Berpengetahuan dalam batasan seorang qadhi (hakim) dan ketiga, Berkepandaian dalam urusan kepemimpinan umat dan militer. Imam Abu Hasan Al-mawardi memberikan tujuh hal berikut sebagai syarat yang harus dimiliki oleh seorang imam: Keadilan, ilmu dalam batasan ijtihad, kesehatan indera, kesehatan anggota badan (jasmani), kepengaturan (kepemimpinan), keberanian dan berketurunan Quraisy. Taftazani juga meyakini hal-hal berikut ini sebagai persyaratan yang harus dimiliki oleh imam untuk membuktikan kedudukan imamah dan pengganti Nabi Saw: Mukallaf (menginjak usia taklif), keadilan, merdeka, laki-laki, ijtihad, keberanian, kepengaturan (kepemimpinan), orator dan berketurunan Quraisy. Setelah menjelaskan secara global teraju dan kriteria yang ditetapkan oleh Ulama Sunni ini beberapa poin penting mengenai perbedaan tersebut :
1. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan syarat-syarat imam muncul dari anggapan bahwa Nabi Saw tidak menyinggungnya dengan seluruh esensi dan urgensitasnya, dan tidak memberikan tuntunan khusus mengenainya kepada umat. Oleh karena itu, dalam hal ini masing-masing dari ulama Ahlusunnah terpaksa menjelaskannya berdasarkan pandangan dan pendapatnya sendiri serta melihat sebagian kemaslahatan. Tentu saja, kelompok ini harus menjawab pertanyaan mendasar bahwa Nabi saw yang menjelaskan hukum-hukum syariat dan praktis terkecil, bahkan dalam hal-hal yang makruh dan sunnah kepada umatnya, bagaimana mungkin tidak menerangkan permasalahan hayati ini, yaitu syarat-syarat imam yang layak dan saleh.
2. Mayoritas ulama Ahlusunnah menegaskan bahwa bila imam kaum Muslimin melenceng ke jalan kefasikan, kesewenang-wenangan, kezhaliman dan kesesatan, maka ia tidak akan tercopot dari kedudukannya. Akan tetapi klaim ini tidak sesuai dengan pandangan mereka dalam menganggap keadilan sebagai salah satu syarat seorang imam. Karena pensyaratan keadilan berarti bahwa ketika syarat ini tidak ada (ternafikan), maka kompetensinya untuk kedudukan imamah akan lenyap dan pribadi seperti ini tidak dapat lagi menduduki jabatan sebagai imam umat Islam.
3. Berdasarkan pada kesaksian sejarah, mayoritas hakim (penguasa) Islam setelah Ali As tidak menyandang berbagai persyaratan tersebut, sementara kelompok penguasa ini menurut pandangan Ahlusunnah, termasuk pengganti Rasulullah Saw dan imam kaum Muslimin. Dengan kata lain, walaupun kita cukup dengan syarat-syarat imam yang diyakini oleh Ahlusunnah, maka banyak hakim yang menurut mereka sebagai amirul mukminin dan khalifah Rasulullah Saw, pada kenyataannya tidak memiliki kompetensi tersebut.
1.3. Kriteria-kriteria Imam dalam Tinjauan Syiah
Sampai di sini jelas bahwa Imamiyah meyakini imamah sebagai sebuah kedudukan sangat tinggi dan maqam sangat agung. Menurut pandangan ulama Syiah, imamah merupakan kedudukan Ilahi dan imam sebagai penjaga syariat, penjawab seluruh kebutuhan-kebutuhan religius umat. Oleh karena itu, wajar sekali bila seorang imam harus memiliki syarat-syarat dan kriteria-kriteria luar biasa, sehingga mampu menjalankan tugas urgen imamah dengan sebaik mungkin.
Syarat-syarat terpenting imam menurut pandangan Syiah berupa : Pertama, Ishmah, kedua, Ilmu ladunni, Ketiga, Superioritas spiritual atas yang lain (keutamaan); Keempat,pelantikan berdasarkan Nash.
A. Ishmah
Ulama Ahlu Sunnah (Sunni) sepakat berpandangan bahwa seorang imam tidak harus maksum. Seluruh Ulama Syiah bersuara bulat dalam hal bahwa salah satu diantara syarat – syarat pendeklarasian kedudukan imamah adalah ishmah (infallible) dan imam adalah seorang yang tersucikan dari kesalahan, dosa dan maksiat.
Teolog-teolog Syiah dalam membuktikan keharusan ishmah seorang imam menggunakan berbagai macam argumen rasional dan tekstual. Tampaknya, dengan merenungkan argumentasi kewajiban pelantikan imam dari sisi Allah swt -berdasarkan kebutuhan umat terhadap marja'iyyah (tempat rujukan) keagamaan pasca Rasulullah saw- yang kita telah paparkan, kiranya cukup untuk membuktikan keharusan ishmah imam, karena pelaksanaan tugas-tugas secara layak di pundak imam, tanpa ishmah dari kesalahan dan dosa adalah sebuah hal yang tidak mungkin. Bila penafsiran al-Quran seorang imam tidak terjaga dari kesalahan, maka ucapannya tidak dapat menjadi hujjah bagi umat dan fashlul khitab (penengah) pelbagai silang-pendapat dalam penafsiran. Demikian juga, penjelasan hukum-hukum agama dari pihak seorang imam yang tidak terjaga dari kesalahan, tidak akan dapat menyempurnakan hujjah atas umat dan mereka tidak dapat bersandar kepadanya ketika belum meyakini ternafikannya kemungkinan kesalahan dalam ucapan-ucapan imam dan menjadikannya sebagai penuntun praktek tugas-tugas agama. Seorang imam yang tidak terjaga dari perbuatan dosa, sangat mungkin tergelincir dalam menghadapi penyimpangan dan penyelewengan, tidak melaksanakan kewajiban dengan motif memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi atau karena faktor-faktor lain.
Di samping itu, seorang imam yang dirinya sendiri tergelincir ke dalam perbuatan dosa, tidak akan dapat menjadi penyeru umat kepada takwa dan amal saleh dan sangat mungkin sekali kehilangan nilai dan validitasnya,minimal dalam pandangan sebagian masyarakat. Singkatnya, menerima tugas mejaga syariat dan membela dunia Islam serta melanjutkan tugas hidayah umat pasca Nabi Saw,berada di pundak.imam. Pelaksanaannya secara sempurna dan layak adalah sebuah hal yang tidak mungkin tanpa ishmah.
Menurut Allamah Hilli :
"Kelompok Imamiyah meyakini keharusan kemaksuman imam-imam dari seluruh kejelekan dan dosa mulai usia kanak-kanak hingga akhir hayat sebagaimana nabi-nabi, karena imam-imam adalah para penjaga syariat dan pelaksananya dan posisi mereka dari sudut pandang ini seperti posisi Nabi saw.” Disamping hal-hal yang telah lalu , teolog-teolog Syiah juga memaparkan argumen-argumen lain atas keharusan ishmah imam yang di sini kita paparkan sebuah argument :
“Apabila imam tidak maksum, akan terjadi tasalsul (mata-rantai tak berujung) dan sedangkan tasalsul adalah mustahil. Penjelasannya, alasan kebutuhan umat kepada imam adalah karena umat tidak maksum dan mungkin melakukan kesalahan; karena apabila mereka maksum, maka mereka tidak akan membutuhkan lagi kepada imam. Sementara itu, bila kita anggap bahwa imam sendiri mungkin melakukan kesalahan, maka konsekwensinya adalah akan membutuhkan kepada imam yang lain dan bila mata rantai kebutuhan-kebutuhan kepada imam maksum tidak berhenti, akan terjadi tasalsul dan oleh karena tasalsul batil (mustahil), maka keberadaan seorang imam maksum yang dengan keberadaannya kebutuhan umat akan terpenuhi adalah hal yang lazim.
B. Ilmu Laduni
Kriteria kedua imam, menurut Syi’ah adalah pengetahuan luas dan ilmu-ilmu khususnya ; ilmu-ilmu yang tidak bisa diperoleh dari jalur-jalur biasa dalam penimbaan ilmu manusia dan dari sinilah, ilmu tersebut dikatakan ilmu ladunni atau anugerah Ilahi. Urgensitas kepemilikan ilmu-ilmu ladunni imam akan jelas dengan keterangan yang kami paparkan mengenai kebutuhan umat terhadap imam, karena pengetahuan komprehensif terhadap seluruh rumus dan rahasia al-Quran, ilmu lengkap terhadap syariat dan seluruh hukum dan undang-undang agama (hingga hukum-hukum tema-tema baru dan kontemporer),persiapan sempurna untuk memberikan jawaban terhadap problem- problem, seluruhnya berkonsekwensi bahwa imam harus memiliki ilmu-ilmu khusus
Bila ilmu-ilmu imam hanya terpenuhi dari sumber-sumber biasa pendapatan ilmu,maka tidak akan terdapat sebuah jaminan pun untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan keagamaan umat yang luas dan berbagai macam ragam dan hal ini artinya adalah membatalkan tujuan Tuhan dalam pensyariatan agama.
C. Superioritas Spiritual atas Yang Lain (Keutamaan)
Kriteria khusus ketiga yang eksistensinya dalam diri seorang imam wajib adalah superioritas imam atas seluruh individu umatnya dalam sisi-sisi spiritual dan keutamaan-keutamaan akhlak. Imam adalah seorang yang terdepan dalam seluruh sifat-sifat akhlak dari yang lain dan lebih baik dalam iman dan amal saleh dari seluruh orang. Imam adalah orang yang paling utama dalam keilmuan, ketakwaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan di antara orang-orang pada masanya.
Ringkasan argumentasi rasional teolog-teolog Syiah mengenai kewajiban keberadaan kriteria ini dalam diri imam adalah sebagai berikut: Bila imam tidak lebih utama dalam hal-hal spiritual dari setiap individu umat, maka akan sama atau bahkan lebih rendah dari mereka dan tidak ada kemungkinan lain lagi. Adapun dua kondisi terakhir tidak benar, karena yang pertama (ketika sama dengan yang lain) akan berkonsekwensi "tarjih bila murajjih" (menentukan pilihan tanpa alasan keutamaannya), karena bila dua orang memiliki kesamaan dalam hal-hal spiritual dan masing-masing tidak memiliki sedikit kelebihan pun atas yang lainnya, maka imamah dan kepemimpinan salah seorang di antara mereka atas yang lain adalah penentuan pilihan yang tidak beralasan. Kebatilan kondisi kedua juga sangat jelas, karena akal sehat menghukumi keburukan hal bahwa Allah Swt lebih mengedepankan seorang yang lebih rendah atas orang yang memiliki keutamaan dan menjadikan mafdhul sebagai imam afdhal (yang lebih utama). Oleh karena itu, kondisi yang paling masuk akal hanya kondisi pertama, yaitu imam memiliki superioritas dari umatnya sendiri.
C. Berdasarkan Nash
Syarat keempat dari syarat-syarat imam adalah keberadaan nash yang menunjukkan keimamahannya. Syarat ini pada dasarnya, kembali kepada kajian metode masyru' (sah secara syar'i) dan valid pelantikan imam. Menurut perspektif Syiah, jalan pelantikan imam hanya terwujud ketika Nabi Saw (atau seorang yang keimamahannya telah terbukti) memproklamasikan keimamahannya dengan penjelasan yang gamblang dan tidak mengandung kesamaran, dan melantiknya sebagai pengganti beliau.
Adapun menurut pandangan Ahlusunnah, proklamasi (nash) Nabi Saw bukan satu-satunya jalan valid pelantikan imam, akan tetapi juga terdapat cara-cara lain.

DAFTAR PUSTAKA

 Imam Abu Hasan Al- Mawardi, Al- Ahkam As- sulthoniyyah, Darl fikr : Lebanon
 Abu Bakar Baqalani, Tamhid al-Awa'il Fi Talkhish ad-Dala'il,
 Google. Com tentang syi’ah- sunni

Comments

  1. ᐉ Play Slots Online | LuckyClub Live
    Lucky Club Live. Casino. The Casino Game. Live. Blackjack. Blackjack. Live. Roulette. Baccarat. Welcome Bonus. Bonus. luckyclub Live Casino. Roulette.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts